Reportase Faktual || Di tengah padatnya gedung pencakar langit, macet yang tak kunjung reda, dan minimnya ruang terbuka hijau, ada satu pemandangan yang perlahan mulai akrab di kota-kota besar Indonesia : kebun kecil di balkon apartemen, sayuran hidroponik di dinding rumah, bahkan kolam ikan di teras sempit.
Inilah urban farming—praktik bertani dalam skala kecil yang dilakukan di lingkungan perkotaan.
Bagi sebagian orang, ini hanya tren gaya hidup. Tapi bagi yang lain, ini adalah bentuk perlawanan sunyi terhadap krisis pangan, inflasi, dan tekanan psikologis kota.
Bercocok Tanam di Atas Beton
Banyak warga kota kini mulai menanam sendiri kebutuhan dapur mereka: kangkung, bayam, cabai, tomat, bahkan stroberi. Medianya bermacam-macam—tanah, air (hidroponik), bahkan sistem vertikal yang menempel di tembok.
Dini Rahmawati (34), karyawan swasta di Jakarta Timur, mengaku awalnya iseng menanam selada dan cabai di balkon apartemennya selama pandemi.
“Ternyata nagih. Tiap pagi ada rasa senang lihat tanaman tumbuh. Sekarang saya tanam lebih banyak. Hemat belanja, dan jadi lebih sehat juga,” ujarnya.
Fenomena seperti ini bukan hal sepele. Banyak komunitas urban farming terbentuk, seperti Gerakan Berkebun, Indonesia Berkebun, hingga program pemerintah seperti KRPL (Kawasan Rumah Pangan Lestari) dari Kementerian Pertanian.
Lebih dari Sekadar Hobi
Urban farming punya potensi besar : mengurangi ketergantungan pada pangan impor, mengatasi limbah organik rumah tangga dengan kompos, meningkatkan ketahanan pangan keluarga di tengah inflasi, mengurangi stres dan gangguan mental akibat tekanan kota.
“Urban farming bukan hanya soal sayur-sayuran. Ini soal empowerment. Tentang bagaimana masyarakat kota bisa kembali merasa punya kendali atas makanannya sendiri”.
Tapi, Seberapa Jauh Bisa Diandalkan ?
Meski positif, urban farming belum bisa menjadi solusi utama bagi kebutuhan pangan kota. Produksinya terbatas, tidak semua lahan bisa dipakai, dan butuh edukasi berkelanjutan.
Namun yang menarik, minat generasi muda terhadap pertanian kota justru meningkat—khususnya yang tertarik pada teknologi pertanian pintar (smart farming), seperti penggunaan IoT, sensor kelembapan, dan aplikasi monitoring tanam.
Tips Memulai Urban Farming di Rumah :
Mulai dari kecil: Gunakan botol bekas, pot, atau nampan untuk microgreens.
Pilih tanaman cepat panen: Kangkung, bayam, daun mint, atau cabai rawit.
Manfaatkan dapur : Limbah dapur bisa dijadikan kompos alami.
Cari komunitas : Belajar bareng lebih seru dan saling menyemangati.
Jangan takut gagal : Tanaman mati? Ulang lagi. Setiap petani pernah gagal.
Urban farming bukan sekadar soal tanaman—tapi tentang keberdayaan. Di tengah hidup kota yang serba cepat dan mahal, menanam sendiri menjadi bentuk ketenangan dan ketahanan.
Entah itu sekadar satu pot daun bawang di jendela, atau taman mini di atap rumah, setiap langkah kecil tetap punya arti besar. (*)
Editor : RF1