Jakarta, Reportase Faktual || Demonstrasi di depan Gedung DPR kerap kita lihat sebagai panggung besar rakyat menyuarakan suara hati.
Tapi jika ditarik lebih jauh, aksi massa sering kali bukan sekadar unjuk rasa spontan, melainkan arena pertarungan intelijen yang tak kasat mata.
Apa yang terlihat di jalanan—teriakan mahasiswa, barisan aparat, hingga spanduk berisi tuntutan—sebenarnya bisa jadi hanya lapisan luar dari permainan politik yang jauh lebih rumit.
Mari kita bedah sebuah skenario yang menarik untuk dicermati. Katakanlah ada “Pihak A” yang sejak awal merancang demo sebagai operasi tekanan psikologis terhadap DPR.
Tujuannya sederhana : menggoyang mental wakil rakyat agar menunda, atau bahkan membatalkan, agenda yang merugikan kepentingan mereka.
Langkah ini dijalankan dengan kalkulasi dingin. Uji coba kecil dilakukan di kota lain, aparat tidak terlalu keras menekan, dan publik memang sudah punya sentimen negatif terhadap DPR.
Trust deficit antara rakyat dan parlemen membuat mobilisasi massa berjalan mulus—tanpa perlu tokoh nasional karismatik.
Namun, di sinilah titik balik terjadi. Masuklah “Pihak B”. Mereka tidak menghentikan aksi A, justru menyusup.
Cara kerjanya halus : menambah katalis berupa provokasi, penyebar psywar, hingga provokator lapangan.
Tujuannya jelas—menggeser demo dari sekadar tekanan politik menjadi eskalasi chaos.
Begitu ada korban jatuh, narasi publik pun berubah total. Aksi yang tadinya “terukur” berubah menjadi tragedi.
Kendali politik lepas dari tangan A, beralih ke B. Polisi yang semula memberi ruang justru kena imbas : legitimasi mereka runtuh, dicap sebagai pihak yang gagal melindungi rakyat.
Pada titik ini, A kehilangan kendali. Agenda mereka berbalik menjadi bumerang.
Publik marah, gelombang aksi meluas, dan polisi ikut terseret menjadi musuh bersama. Sementara itu, B justru tampil sebagai pemenang narasi.
Jika dilihat dari kacamata intelijen, inilah textbook counter-intelligence sabotage.
Musuh tidak dilawan frontal, tetapi dibiarkan membuka jalur, lalu jalur itu dijadikan jebakan.
Operasi macam ini bukan kerja kelompok sembarangan, melainkan tangan-tangan terlatih—para pemain yang paham sandi yudha, pernah menimba ilmu strategi di pusat pelatihan militer kelas dunia.
Implikasinya ? Pihak B kini punya ruang lebih luas. Mereka bisa melakukan “pembersihan politik” dengan dalih menyelamatkan negara dari kekacauan. Sementara A dan aparat kehilangan pijakan.
Pada akhirnya, demonstrasi bukan lagi sekadar persoalan spanduk, toa, dan orasi.
Ia adalah panggung berlapis : di permukaan terlihat riuh, tapi di balik layar, ada tarung senyap antar operasi intelijen yang menentukan siapa yang jatuh, siapa yang naik. (*)
Opini oleh
H Maidarov
Pemerhati Sosial
Pasuruan-Jatim






