Mengapa rumah pejabat jadi sasaran ? Membaca simbol kemarahan publik

Sejumlah barang pribadi milik Menteri Keuangan Sri Mulyani tergeletak di luar rumah di Jalan Mandar, Bintaro Sektor III, Tangerang Selatan (Tangsel) usai dijarah sekelompok orang. (Foto : ist)

Jakarta, Reportase Faktual || Fenomena penjarahan dan aksi anarkis belakangan ini menjadi pemandangan yang kian sering tersaji di lini masa media sosial.

Tidak hanya toko atau fasilitas publik, kini rumah-rumah pejabat ikut menjadi sasaran amuk massa.

Dari rumah anggota DPR Ahmad Sahroni di Tanjung Priok, rumah politisi PAN Eko Patrio di Setiabudi, hingga kabar kediaman pribadi Menteri Keuangan Sri Mulyani di Bintaro yang disebut dijarah, deretan peristiwa itu menyisakan pertanyaan: mengapa rumah pejabat yang jadi target utama?

Rumah Sebagai Simbol Kekuasaan

Bagi banyak orang, pejabat tidak hanya dipandang sebagai individu, melainkan representasi negara dan kekuasaan.

Rumah mereka dianggap simbol dari status sosial, jabatan, dan kekayaan. Ketika masyarakat merasa kecewa atau tertekan oleh kondisi sosial-ekonomi, simbol inilah yang paling mudah dituju.

Penyerangan terhadap rumah pejabat bisa dibaca sebagai pesan protes—meski dilakukan dengan cara anarkis.

Seorang sosiolog, misalnya, kerap menekankan bahwa dalam kondisi krisis, aksi massa sering diarahkan pada “wajah kekuasaan” yang dianggap dekat, terlihat, dan mudah dijangkau. Dalam konteks ini, rumah pribadi pejabat menjadi lambang yang dipilih.

Faktor Psikologis : Kemarahan Kolektif

Selain aspek simbolik, ada pula faktor psikologis yang mendorong massa untuk bertindak nekat.

Fenomena ini dikenal sebagai mob mentality. Ketika berada dalam kerumunan, individu bisa kehilangan kontrol diri dan mengikuti arus emosi kelompok.

Teriakan, dorongan, dan suasana panas membuat seseorang yang awalnya hanya menonton bisa berubah menjadi pelaku penjarahan.

Kemarahan kolektif ini kemudian diarahkan pada rumah pejabat karena dianggap “milik mereka yang berkuasa.”

Barang-barang mewah yang dijarah, mulai dari patung koleksi hingga jam tangan, semakin menguatkan gambaran ketidaksetaraan yang dirasakan publik.

Media Sosial : Panggung Kemarahan

Peran media sosial juga tak bisa diabaikan. Hampir semua kasus penjarahan rumah pejabat menjadi viral karena direkam dan dibagikan.

Video warga membawa patung Ironman dari rumah Ahmad Sahroni atau kabar kucing peliharaan Uya Kuya ikut dijarah, menyebar dalam hitungan jam.

Fenomena ini menimbulkan efek domino. Semakin banyak orang melihat, semakin besar pula rasa penasaran dan dorongan untuk terlibat.

Media sosial bukan hanya sarana informasi, melainkan juga arena ekspresi kolektif kemarahan.

Antara Protes dan Kejahatan

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa aksi penjarahan tetaplah tindak kriminal.

Aparat kepolisian menegaskan bahwa protes sosial tidak bisa dibenarkan jika berubah menjadi perusakan dan pencurian.

Kapolres Jakarta Selatan, Kombes Nicolas Ary Lilipaly, misalnya, mengonfirmasi bahwa penjarahan rumah Eko Patrio memang terjadi, namun kondisi kini sudah kondusif.

Meski begitu, bagi sebagian orang, aksi itu dianggap sebagai bentuk protes keras yang tidak tersalurkan lewat jalur formal.

Di sinilah letak paradoksnya : antara ekspresi kemarahan publik dan tindakan melawan hukum.

Dampak Jangka Panjang

Pertanyaan yang lebih serius adalah bagaimana dampak jangka panjang dari fenomena ini.

Jika rumah pejabat terus menjadi sasaran, bukan tidak mungkin akan menimbulkan rasa ketidakamanan baru, baik bagi pejabat maupun masyarakat umum.

Rumah yang sejatinya ruang privat berubah menjadi arena konflik sosial.

Di sisi lain, fenomena ini juga menjadi peringatan keras bahwa ada jurang kepercayaan yang semakin lebar antara masyarakat dan para pemimpinnya.

Ketika komunikasi politik gagal, maka simbol-simbol kekuasaanlah yang diserang.

Menyikapi dengan Bijak

Membaca fenomena penjarahan rumah pejabat seharusnya tidak berhenti pada soal keamanan semata.

Ada pesan sosial yang harus ditangkap : publik menuntut keadilan, transparansi, dan empati dari para pemimpinnya.

Jika tuntutan itu diabaikan, maka potensi kerusuhan serupa bisa berulang.

Sri Mulyani, Sahroni, Eko Patrio, hingga Uya Kuya hanyalah contoh dari bagaimana pejabat atau publik figur bisa sewaktu-waktu jadi target.

Perlu diperhatikan adalah bagaimana negara merespons : apakah sekadar menambah aparat pengamanan, atau benar-benar mendengar suara masyarakat yang terselip di balik aksi anarkis. (*)

Editor : RF1

Bagikan