Reportase Faktual, Lebak || Suasana SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, mendadak mencekam sejak Jumat (10/10/2025).
Bukan karena ujian atau insiden teknis, tapi karena satu tindakan emosional, kepala sekolah menampar siswanya sendiri.
Satu tamparan itu menggema lebih keras dari bunyinya — mengguncang ruang-ruang kelas, menggiring ratusan siswa untuk mogok belajar, hingga menyeret sang kepala sekolah ke ujung kariernya.
Peristiwa bermula sederhana. ILP, siswa kelas XI berusia 17 tahun, kepergok merokok di belakang warung dekat sekolah.
Kepala sekolah, Dini Fitria, yang sedang berkeliling, mendapati ILP dan langsung menegurnya. Namun yang terjadi kemudian keluar dari batas wajar seorang pendidik.
“Saya kaget waktu ketemu kepsek. Rokok langsung saya buang, tapi disuruh nyari lagi. Enggak ketemu, terus dibilang bohong, lalu ditendang dan ditampar,” ungkap ILP, masih dengan wajah memar, dikutip dari TribunBanten.com.
Tak berhenti di situ. ILP juga mengaku mendapat makian kasar di depan teman-temannya. Bagi seorang remaja, itu bukan sekadar tamparan di pipi — tapi juga tamparan pada harga diri.
Kelas Kosong, Suara Siswa Menggema
Hari berikutnya, suasana di sekolah yang biasanya riuh mendadak senyap. Sebanyak 634 siswa serentak mogok sekolah.
Sebagai bentuk solidaritas, 19 ruang kelas dibiarkan kosong. Tak ada bel masuk, tak ada pelajaran. Yang tersisa hanyalah tanda tanya besar, bagaimana bisa sekolah berubah jadi arena konflik antara murid dan pemimpinnya sendiri?
Para guru hanya bisa menatap ruang kosong dari balik jendela. “Kami tetap masuk karena ASN, tapi ya… tidak ada murid,” kata seorang guru lirih.
Pengakuan Tak Terduga dari Dalam Sekolah
Sebuah pengakuan mengejutkan datang dari salah satu guru SMAN 1 Cimarga, yang enggan disebut namanya. Ia menuturkan bahwa emosi berlebih bukan hal baru dari sang kepala sekolah.
“Memang karakternya begitu. Emosinya sering meluap-luap, bukan cuma ke anak, tapi juga ke guru. Kadang kami juga kena semprot,” ujarnya.
Guru itu mengakui, larangan merokok adalah hal mutlak. Namun cara penyampaiannya yang kasar, bahkan disertai kekerasan fisik, jelas melewati batas etik dan nilai pendidikan.
“Kalau saya jadi orang tua, saya pun tidak terima. Cara mendidiknya itu yang salah.”
Suara Ibu: ‘Saya Tidak Ikhlas, Tidak Ridho’
Tri Indah Alesti, ibu dari ILP, tak bisa menahan amarah dan kecewa. Ia memilih langkah tegas, membawa kasus ini ke jalur hukum.
“Saya tidak ikhlas anak saya ditampar. Saya akan bawa ini ke polisi. Biar tidak ada lagi kepala sekolah yang semena-mena,” tegasnya.
Langkah hukum ini bukan sekadar soal balas dendam, tapi tuntutan atas martabat anaknya yang direndahkan oleh sosok yang seharusnya menjadi teladan.
Kepsek Dinonaktifkan, Sekolah Diharap Kembali Kondusif
Gelombang protes yang tak kunjung surut membuat Dini Fitria akhirnya dinonaktifkan dari jabatannya oleh Dinas Pendidikan Banten.
Sekda Provinsi Banten, Deden Apriandhi, menegaskan keputusan ini diambil untuk menenangkan situasi.
“Kita ingin suasana sekolah kembali kondusif. Tapi kalau memang terbukti ada kekerasan, akan ada tindakan hukum dan disiplin,” ujar Deden, dikutip dari Kompas.com.
Kini, proses pemeriksaan tengah berjalan. Semua pihak — dari guru, siswa, hingga kepala sekolah — sedang dimintai keterangan.
Tamparan untuk Dunia Pendidikan
Kasus di SMAN 1 Cimarga ini bukan sekadar cerita lokal. Ia adalah refleksi dari wajah pendidikan kita yang masih menyimpan bara emosi di balik seragam formal.
Ketika disiplin disampaikan lewat kekerasan, dan wibawa diukur dari amarah, maka sekolah kehilangan maknanya sebagai rumah pembelajaran dan pembentukan karakter.
Satu tamparan itu kini menjadi pelajaran nasional, bahwa pendidikan tanpa empati hanyalah kekuasaan yang terselubung di balik papan nama kepala sekolah.
Peristiwa di SMAN 1 Cimarga bukan akhir, tapi awal dari refleksi panjang.
Bagaimana seharusnya pendidik menegur tanpa melukai?
Bagaimana sistem sekolah bisa melindungi siswa tanpa melemahkan otoritas guru?
Pertanyaan-pertanyaan itu kini menggema di antara bangku-bangku kosong, menunggu jawaban dari dunia pendidikan yang lebih beradab. (*)
Editor : RF1






