Jejak digital tak pernah hilang : apa yang perlu kita ajarkan ke generasi Z ?

Ilustrasi.

Reportase Faktual || Dalam era di mana unggahan bisa viral dalam hitungan menit, dan rekam jejak digital lebih kuat daripada tinta di atas kertas, satu hal penting perlu ditanamkan sejak dini : apa yang kamu bagikan hari ini bisa menghantuimu bertahun-tahun ke depan.

Bagi Generasi Z—yang lahir dan tumbuh bersama internet—berinteraksi di media sosial, bermain game online, dan berbagi di platform digital adalah bagian dari kehidupan sehari-hari.

Tapi sayangnya, belum semua dari mereka paham bahwa jejak digital bersifat permanen, bahkan ketika kita merasa sudah “menghapusnya.”

Apa Itu Jejak Digital ?

Jejak digital adalah semua data yang kita tinggalkan di dunia maya, baik secara sadar maupun tidak. Ini termasuk : unggahan media sosial, riwayat pencarian google, lokasi yang dibagikan, komentar di YouTube atau TikTok, aplikasi yang kita izinkan mengakses kontak atau kamera, hingga… scrolling behavior kita di toko online.

“Jejak digital ibarat bayangan yang mengikuti kita ke mana pun. Masalahnya, bayangan ini bisa dilihat orang lain—termasuk perekrut kerja, guru, bahkan oknum penipu digital”.

Ketidaksadaran Bisa Berdampak Serius

Beberapa kasus membuktikan bahwa jejak digital bisa jadi bumerang : seorang pelamar kerja gagal diterima karena postingan masa SMA-nya yang mengandung ujaran kebencian.

Selebriti lokal kehilangan kontrak karena jejak digital lama yang dianggap tidak etis oleh publik.

Banyak anak muda menjadi korban doxxing, perundungan digital, hingga pencurian identitas dari informasi yang mereka unggah sendiri.

Literasi Digital = Skill Bertahan Hidup

Di zaman sekarang, mengajarkan literasi digital tidak kalah penting dari membaca atau berhitung. Kita harus mengajarkan Generasi Z untuk :

Berpikir Sebelum Mengunggah :

Tanyakan: “Apa yang aku bagikan ini, masih akan aku banggakan 5 tahun dari sekarang?”

Lindungi Privasi :

Jangan asal bagikan nomor telepon, lokasi rumah, atau data pribadi lainnya di media sosial.

Pahami Platform yang Digunakan :

Baca pengaturan privasi. Siapa yang bisa melihat unggahan mereka? Apakah data mereka dijual ke pihak ketiga?

Kenali Etika Digital :

Menyebar gosip, hoaks, atau body-shaming online tetap sama buruknya dengan di dunia nyata.

Kelola Kata Sandi dan Akun :

Gunakan password yang kuat dan aktifkan verifikasi dua langkah.

Apa Peran Orang Tua dan Guru?

Alih-alih melarang anak bermain gadget, lebih baik dampingi dan arahkan. Generasi Z tidak bisa dijauhkan dari teknologi, tapi bisa diperkuat dengan pemahaman. Diskusi terbuka – bukan  hukuman – adalah pendekatan paling efektif.

“Kami tidak bisa memutus koneksi mereka dari dunia digital. Tapi kami bisa bantu mereka membangun pondasi moral dan kesadaran dalam menjalaninya,” jelas Rina.

Jejak digital bisa menjadi portofolio yang membanggakan—atau sebaliknya, lubang yang menjebak.

Generasi Z punya potensi luar biasa sebagai warga digital yang cerdas, asal kita semua—orang tua, guru, dan masyarakat—ikut andil dalam membekali mereka.

Karena sekali data keluar ke internet, “hapus permanen” hanya ilusi. (*)

Editor : RF1

Bagikan