Hari Anak Nasional 2025, dirayakan di atas panggung, dilewatkan para anak jalanan

Ilustrasi.

Surabaya, Reportase Faktual || Setiap tahun, Hari Anak Nasional diperingati pada tanggal 23 Juli dengan penuh semarak.

Ada panggung-panggung megah, anak-anak menari, menyanyi, bahkan berdiri di depan pejabat.

Tapi di balik hingar-bingar itu, ada sekelompok anak yang tidak tampil, tidak dipotret, dan tidak pernah diminta pendapatnya, mereka anak-anak pekerja.

Sebut saja Dimas (12), anak laki-laki yang tiap hari menjadi “manusia silver” di sebuah traffic light.

Saat anak-anak lain latihan untuk pentas Hari Anak Nasional, Dimas sibuk menghitung receh dari hasil kerjanya menjadi “manusia silver”.

“Aku gak tahu ada Hari Anak, Mas. Aku kerja aja, bantu ibu,” ujarnya singkat sambil duduk di trotoar, Kamis, 16 Juli 2025.

Dimas bukan satu-satunya. Menurut data dari Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), masih ada ribuan anak di Indonesia yang bekerja di usia dini, baik sebagai pengamen, pemulung, asisten rumah makan, hingga buruh kasar.

Ironi di Balik Panggung Perayaan

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) telah menyampaikan bahwa Hari Anak Nasional 2025 akan digelar secara serentak di seluruh sekolah Indonesia. Tapi bagaimana dengan anak-anak yang bahkan tidak sempat sekolah?

“Simbolisasi peringatan itu bagus, tapi jangan cuma simbol. Anak-anak yang dipaksa bekerja harus jadi perhatian utama,” ujar salah seorang pegiat advokasi anak di Surabaya.

Ia menambahkan, bentuk perlindungan anak seharusnya bukan hanya seremoni, melainkan intervensi nyata seperti bantuan pendidikan, pengawasan ketat terhadap pekerja anak, dan dukungan psikososial untuk keluarga miskin.

Mengapa Anak Masih Bekerja ?

Faktor ekonomi masih menjadi alasan utama. Banyak keluarga yang menjadikan anak sebagai tulang punggung tambahan. Dalam beberapa kasus, anak-anak bahkan jadi satu-satunya pencari nafkah.

“Kalau gak kerja, gak makan,” kata Fitri, ibu dari dua anak yang sehari-hari berjualan minuman di pinggir jalan.

Anaknya yang berusia 10 tahun ikut membantu dari siang sampai malam.

Mirisnya, sebagian masyarakat justru memaklumi atau malah memanfaatkan kondisi ini.

Anak-anak yang menjual tisu atau berjualan makanan ringan dianggap “biasa”.

Apa yang Bisa Dilakukan ?

Menurut psikolog anak dan keluarga, masyarakat sejatinya punya peran penting.

“Jangan beri anak uang untuk bekerja. Bantu mereka dengan saluran resmi, seperti pengaduan ke Dinsos atau LPAI”.

Selain itu, edukasi kepada orang tua dan pelibatan RT/RW juga penting.

Negara bisa saja punya program, tapi implementasi di lapangan seringkali tidak menyentuh yang paling bawah.

Hari Anak Nasional semestinya menjadi momentum refleksi, bukan hanya perayaan.

Jika ribuan anak masih mengamen saat yang lain bernyanyi di atas panggung peringatan, maka kita belum benar-benar merayakan anak-anak—kita baru menghiasinya.

Anak bukan untuk dipertontonkan saat seremonial, tapi untuk dilindungi setiap hari. (*)

Editor : RF1

Bagikan