Jakarta, Reportase Faktual || Satu demi satu simpul korupsi di tubuh proyek energi nasional mulai terurai.
Kali ini, sorotan tajam mengarah ke proyek Pembangunan PLTU 1 Kalimantan Barat, yang kini dinyatakan total lost — alias kerugian penuh tanpa hasil.
Nilainya bukan kecil, Rp1,3 triliun uang negara lenyap begitu saja, meninggalkan sisa bangunan mangkrak dan jejak penyimpangan yang menguap di udara panas Kalimantan.
Proyek Ambisius yang Berujung Bencana Finansial
Korps Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipidkor) Polri mengungkap temuan mencengangkan dalam kasus ini.
“Akibat dari pekerjaan ini, pembangunannya mangkrak sampai dengan saat ini dan sudah dinyatakan total lost oleh BPK,” ungkap Kakortas Tipidkor Polri Irjen Pol. Cahyono Wibowo dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (6/10/2025).
Proyek yang seharusnya menjadi tumpuan pasokan listrik di wilayah Kalimantan Barat itu, justru menjadi simbol kegagalan tata kelola dan lemahnya pengawasan.
Hasil audit menunjukkan, nilai kerugian keuangan negara mencapai USD 62.410.523, atau setara dengan Rp1,3 triliun berdasarkan kurs dolar yang kini menembus Rp16.600.
Nama-Nama di Balik Proyek Mangkrak
Tak butuh waktu lama bagi penyidik untuk menelusuri siapa saja yang berada di balik ambisi besar yang berakhir tragis ini.
Polri telah menetapkan empat tersangka:
Fahmi Mochtar, mantan Direktur Utama PLN periode 2008–2019,
Halim Kalla, Direktur Utama PT BRN,
serta dua pihak lainnya berinisial RR dan HYL.
Nama Halim Kalla, yang dikenal sebagai pengusaha dan tokoh berpengaruh di sektor energi, kini ikut terseret dalam pusaran kasus besar ini.
Polisi memastikan, penetapan tersangka dilakukan setelah menemukan cukup bukti kuat tentang dugaan keterlibatan dalam penyimpangan pelaksanaan proyek.
Penelusuran Aset dan Jejak Dana
Penyidik kini tengah fokus menelusuri aliran dana dan aset para tersangka.
Langkah ini menjadi bagian penting untuk menutup kemungkinan lenyapnya uang hasil korupsi ke luar negeri.
“Penelusuran aset sedang berjalan. Kami ingin memastikan potensi pengembalian kerugian negara bisa dimaksimalkan,” tegas Irjen Cahyono.
Kasus ini pun membuka kembali perdebatan lama soal praktik bisnis kotor di proyek energi nasional, yang sering kali berlindung di balik jargon “pembangunan strategis”.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Ancaman hukumannya tidak main-main — penjara seumur hidup atau hukuman maksimal 20 tahun, serta denda miliaran rupiah.
Kasus PLTU Kalbar ini bukan sekadar cerita tentang angka dan kontrak yang gagal.
Ini adalah potret buram bagaimana ambisi pembangunan bisa berubah menjadi ladang bancakan ketika transparansi dan akuntabilitas diabaikan.
Bangunan PLTU yang kini terbengkalai menjadi saksi bisu — bahwa uang rakyat bisa hilang tanpa bekas, sementara listrik yang dijanjikan tak pernah menyala.
Dan kini, publik menanti, apakah keadilan akan benar-benar hadir, atau kasus ini akan ikut padam, seperti proyeknya yang mangkrak. (*)
Editor : RF1






