Bekasi, Reportase Faktual || Aroma kopi hitam menyeruak dari cangkir kecil di tangan Angel.
Ia duduk santai di teras rumahnya di Bekasi, mengenakan pakaian yang biasa dikenakan saat bersantai di dalam rumah.
Tak ada denting musik dari pengeras suara, tak ada pelayan yang menyodorkan menu.
Hanya semilir angin pagi, suara burung gereja, dan obrolan ringan bersama tetangga sebelah.
“Ngopi nggak harus di kafe, yang penting suasananya tenang,” ujarnya sambil tersenyum.
Fenomena seperti Angel kini makin sering dijumpai di banyak sudut kota. Dari teras rumah di pinggiran Tangerang, balkon kecil di apartemen Surabaya, hingga pos ronda di kampung Yogyakarta — ritual menikmati kopi tanpa harus pergi ke kafe menjadi gaya hidup baru warga urban.
Ngopi tak lagi semata urusan kafein, melainkan cara sederhana untuk menepi dari rutinitas.
Dari “third place” ke “my place”
Dulu, kafe adalah simbol gaya hidup modern : tempat bertemu teman, bekerja, hingga mencari inspirasi.
Namun, setelah pandemi dan derasnya arus digital, banyak orang justru menemukan kenyamanan baru di ruang pribadi mereka sendiri.
“Kopi sekarang lebih personal,” ujar Dita Maharani, penikmat kopi sekaligus pemilik toko kopi daring di Malang.
“Orang ingin suasana hangat yang tidak dibuat-buat, bukan hanya estetik untuk foto.”
Tren ini juga tercermin dari data penjualan. Marketplace besar di Indonesia mencatat peningkatan penjualan kopi bubuk lokal dan alat seduh rumahan hingga lebih dari 30 persen dalam dua tahun terakhir.
Merek-merek kopi lokal pun bermunculan dengan kemasan yang menarik dan rasa yang kompetitif — menandakan bahwa budaya ngopi kini telah merakyat.
Ngopi sebagai jeda dan refleksi
Menariknya, fenomena “ngopi tanpa kafe” bukan hanya soal selera minum, tetapi juga tentang cara orang memaknai waktu.
Bagi sebagian, secangkir kopi di pagi hari adalah ritual kecil untuk menata pikiran.
Bagi yang lain, itu momen berbagi cerita bersama pasangan, anak, atau tetangga. Di sela hiruk pikuk kota, secangkir kopi menjadi jeda yang menenangkan.
“Ngopi itu bukan cuma soal rasa, tapi juga suasana hati,” kata Adi, sopir ojek daring di Surabaya yang setiap pagi menyeduh kopi tubruk sebelum bekerja.
“Di situ saya merasa punya waktu buat diri sendiri.”
Cerita seperti Adi menunjukkan bahwa kopi bisa jadi ruang refleksi lintas profesi, lintas usia, bahkan lintas kelas sosial.
Kembali ke akar : kehangatan yang sederhana
Jika dulu ngopi identik dengan status sosial, kini justru kembali ke makna awalnya — kebersamaan.
Banyak warga mulai menata sudut kecil di rumah menjadi “mini coffee corner”, memanfaatkan cangkir lama, toples gula, dan kursi kayu seadanya.
Dari sana, percakapan sederhana tercipta, ide-ide muncul, bahkan hubungan antarwarga menghangat kembali.
Di tengah derasnya tren digital dan kafe berkonsep estetik, justru kesederhanaan ini yang memberi makna.
Ngopi di rumah bukan berarti antikemajuan ; ia simbol bahwa kehangatan bisa lahir dari hal yang paling dekat — bahkan dari uap kopi yang pelan-pelan menghilang di udara pagi.
Menemukan makna di antara aroma kopi
Akhir pekan ini, mungkin tak perlu buru-buru mencari tempat “cozy” di luar sana.
Cukup duduk di teras, ambil cangkir favorit, dan nikmati aroma kopi buatan sendiri.
Sebab di tengah hidup yang serba cepat, kadang kebahagiaan justru datang dari hal paling sederhana — segelas kopi, waktu yang tenang, dan hati yang ringan. (*)
Editor : RF1






