Berpikir kritis bukan sok pintar, tapi wajib biar nggak kebablasan

Opini, Reportase Faktual || Menurut Introduction to Logic karya Irving M. Copi dan Carl Cohen, ada sejumlah prinsip mendasar yang menjadi fondasi semua penalaran logis. Tanpa prinsip ini, tak ada bedanya antara logika dengan asal ngomong. Sayangnya, banyak orang yang mengaku “berpikir logis” tapi bahkan tidak tahu kalau ada yang namanya hukum identitas atau hukum nonkontradiksi.

Dalam buku Logic: The Theory of Inquiry karya John Dewey, dijelaskan bahwa logika bukan sekadar kumpulan aturan kaku, tetapi alat berpikir yang membantu manusia menghindari kesalahan berulang. Maka, memahami logika klasik bukan berarti menjadi sok ilmiah. Ini tentang menjaga agar pikiran tetap waras, runtut, dan tidak dimanipulasi oleh kalimat yang terdengar pintar tapi kosong.

Bayangkan kamu sedang ngobrol dengan teman. Kamu bilang, “Kalau kamu nggak jujur, ya kamu nggak bisa dipercaya. ”Dia jawab, “Itu kan menurut kamu. Bisa aja jujur itu relatif.”

Kamu mulai merasa ada yang aneh. Tapi susah menjelaskan letak salahnya.

Di sinilah hukum-hukum logika klasik bekerja. Mereka bukan untuk debat kusir. Tapi untuk memastikan kita nggak terjebak dalam putaran kalimat yang melanggar akal sehat.

Yuk, kita bahas satu per satu hukum logika klasik, tapi dalam bahasa sehari-hari.

Sebelum lanjut ini waktu yang tepat untuk kamu mendapatkan artikel terbaru lainnya dari kami silakan berlangganan di logikafilsuf, caranya gampang tinggal cek kolom komentar lalu klik berlangganan. Mari kita lanjut ke pembahasan.

Sumber utamanya : Logika Formal oleh Amin Abdullah dan Logic and Contemporary Rhetoric oleh Howard Kahane. Bukan buku yang sok teoretis, tapi jelas membumi.

1. Hukum Identitas: Sesuatu itu ya dirinya sendiri

Kalau A itu A. Kalau kamu jujur, ya kamu jujur.

Hukum ini mengingatkan bahwa satu objek, ide, atau orang tidak bisa menjadi dua hal yang saling bertentangan pada saat yang sama dalam satu konteks.

Contohnya, seseorang tidak bisa disebut “korup tapi peduli rakyat”. Kalimat itu melanggar hukum identitas. Kalau dia korup, dia tidak sedang peduli.

2. Hukum Nonkontradiksi: Tidak mungkin sesuatu itu A dan bukan A sekaligus

Kamu tidak bisa bilang kamu lapar dan kenyang di saat yang sama.

Atau kamu cinta seseorang dan membencinya sepenuh hati dalam momen yang sama dan dalam cara yang sama.

Kalau kamu bilang, “Aku benci dia, tapi aku cinta juga sih,” maka yang perlu kamu rapikan bukan perasaan, tapi logika.

3. Hukum Eksklusi Tengah: Sebuah pernyataan hanya bisa benar atau salah, tidak di tengah-tengah

Pernyataan “Air mendidih pada 100 derajat Celsius di permukaan laut” itu tidak bisa “setengah benar”.

Dalam logika klasik, antara A atau bukan A. Tidak ada posisi “mungkin A, mungkin bukan” kalau kita sudah punya informasi lengkap dan jelas.

Ini penting saat ambil keputusan. Kamu setuju atau tidak setuju. Tidak bisa “nanggung logika” cuma demi nyaman di tengah.

4. Hukum Cukup Alasan (Principium Rationis Sufficientis)

Setiap pernyataan atau keputusan harus ada alasannya.

Kalau kamu bilang, “Dia harus dihukum,” maka harus ada alasan rasional yang mendasarinya.

Tidak cukup hanya karena “rasa gak enak” atau “perasaan gue sih”.

Logika bukan menolak perasaan, tapi meminta alasan cukup untuk setiap kesimpulan.

5. Hukum Sebab-Akibat (Causal Law)

Tidak ada akibat tanpa sebab.

Kalau sebuah fenomena terjadi, pasti ada sebab logis yang bisa dilacak.

Misalnya, kalau sebuah kebijakan membuat harga bahan pokok naik, maka harus ada analisis sistem mendalam dan komprehensif apa yang menyebabkan itu.

Bukan langsung menyalahkan “presiden gak becus” tanpa data yang cukup.

6. Hukum Konsistensi Internal

Satu argumen harus saling mendukung dari awal sampai akhir.

Kalau kamu bilang “semua orang punya hak bicara”, lalu kamu bilang “kecuali yang beda pandangan sama saya”, maka logikamu timpang.

Konsistensi ini yang sering dilanggar politisi: mereka mengklaim prinsip moral, tapi prakteknya bertentangan.

7. Hukum Generalisasi Valid

Kalau kamu mau menyimpulkan sesuatu secara umum, jumlah datanya harus cukup, akurat, dan mewakili.

Kamu tidak bisa bilang “Anak muda sekarang manja” hanya karena dua keponakanmu suka minta jajan.

Ini pelanggaran terhadap generalisasi logis.

Logika klasik menuntut kita sadar kapan kita menyimpulkan terlalu cepat dari contoh terlalu kecil.

Tujuh hukum logika klasik ini bukan milik filsuf tua atau buku pelajaran berat.

Ini adalah fondasi berpikir sehari-hari agar kita tidak mudah ditipu,  dimanipulasi, dibutakan oleh informasi atau tergelincir oleh kalimat-kalimat pintar yang menyesatkan.

Di era kebisingan opini dan ledakan informasi, logika berkesadaran adalah pagar akal yg paling sehat.

Jadi kalau kamu merasa sering bingung saat menyampaikan narasi, atau sulit membedakan argumen yang benar dan yang sekadar berisik, mungkin yang kamu butuhkan bukan motivasi tambahan. Tapi logika dasar yang jelas, argumentatif, ilmiah, bisa dipertanggung jawabkan secara scientifik dan sehat.

Dari 7 hukum logika klasik ini, mana yang paling sering kamu temui dan dilanggar dalam kehidupan sehari-hari?

Tag temanmu yang sering debat dengan kalimat muter-muter. Bagikan tulisan ini biar lebih banyak orang tahu, menyadari, memahami, dan mengerti, menjadi logis bukan soal jadi dingin, tapi jadi manusia yang utuh secara nalar, berkeadilan, bijaksana dan berkesadaran. (*)

by : H Maidarov

Bagikan