Fenomena netizen, kenapa kita suka ‘ngomel’ di kolom komentar ? Ini alasannya !

Ilustrasi, fenomena yang menarik dan terus berulang, netizen Indonesia doyan banget ngomel di kolom komentar. (Foto : ist)

Reportase Faktual || Tak bisa dipungkiri, media sosial kini sudah jadi “panggung nasional”.

Dari gosip selebriti, politik, olahraga, sampai urusan pribadi orang lain, semua bisa jadi bahan komentar publik.

Tapi ada satu fenomena yang menarik dan terus berulang, netizen Indonesia doyan banget ngomel di kolom komentar.

Entah di Instagram, TikTok, Facebook, atau X (Twitter), setiap unggahan ramai sedikit saja, bisa dipastikan kolom komentar langsung jadi arena debat, sindiran, bahkan kuliah umum gratis.

Pertanyaannya, kenapa sih kita begitu menikmati “beropini” — bahkan untuk hal-hal yang kadang tidak terlalu penting?

1. Karena Kita Merasa Punya Suara

Sebelum era media sosial, publik hanya bisa jadi penonton. Tapi kini, semua orang bisa bicara langsung.

Fenomena ini disebut sense of empowerment — perasaan bahwa pendapat kita didengar, walau kadang cuma oleh algoritma.

Tak heran, ketika ada isu besar (entah politik, olahraga, atau kasus viral), kolom komentar jadi ajang “unjuk pendapat” massal. Dari yang rasional sampai yang emosional, semua campur jadi satu.

2. Ngomel Itu Katarsis

Percaya atau tidak, sebagian orang menganggap berkomentar tajam itu seperti “terapi”.

Alih-alih marah di dunia nyata, netizen memilih menumpahkannya di dunia maya.

Menurut beberapa ahli psikologi digital, “online ranting” bisa jadi bentuk pelampiasan stres — meski sayangnya sering tidak tepat sasaran.

Bedanya, kalau di dunia nyata kita ngomel di warung kopi, di medsos kita ngomel di depan jutaan orang. Bedanya cuma audiens, bukan niat.

3. Budaya Cepat Respons, Lambat Verifikasi

Netizen Indonesia dikenal paling aktif di dunia, tapi juga paling cepat bereaksi.

Begitu ada berita viral, belum sempat dibaca utuh, sudah banyak yang komentar “asbun” alias asal bunyi.

Fenomena ini disebut reactive commenting — kebiasaan bereaksi lebih dulu, berpikir belakangan.

Akibatnya, banyak komentar yang justru memperkeruh suasana, bukan menambah nilai diskusi.

4. Karena Kadang, Kita Cuma Ingin Diperhatikan

Tak sedikit juga yang berkomentar pedas bukan karena benar-benar peduli, tapi sekadar ingin terlihat eksis.

Komentar yang nyeleneh, lucu, atau nyindir sering kali lebih banyak dapat “like” dibanding komentar bijak.

Akhirnya, netizen berlomba-lomba jadi yang paling nyentrik di kolom komentar.

Di sinilah budaya “viral demi validasi” muncul. Komentar bisa jadi identitas, bahkan alat pencari perhatian.

Antara Lucu, Miris, dan Manusiawi

Ngomel di kolom komentar mungkin sudah jadi bagian dari budaya digital kita.

Kadang lucu, kadang nyebelin, tapi di balik itu semua, ada sisi manusiawi, kita ingin didengar, ingin dianggap, dan ingin terlibat.

Yang perlu diingat, dunia maya memang bebas, tapi bukan tanpa batas.

Karena di balik setiap komentar, ada jejak digital — dan mungkin juga ada hati yang bisa terluka.

Jadi, sebelum jempol gatal dan buru-buru ketik “parah sih ini!”, coba tahan dua detik.

Tanya dulu ke diri sendiri, “Aku mau berpendapat, atau cuma mau didengar?”

Kadang, bedanya tipis — tapi dampaknya besar. (*)

Editor : RF1

Bagikan