Demi kesehatan mental, digital detox jadi tren global dan banyak orang memilih lepas dari medsos

Ilustrasi.

Reportase Faktual || Di era dimana notifikasi berbunyi nyaris setiap detik, semakin banyak orang di berbagai negara justru memilih untuk mematikan semuanya.

Fenomena ini dikenal dengan istilah digital detox — sebuah tren global dimana seseorang secara sadar menjauh sementara dari gawai, media sosial, dan dunia digital, demi menemukan kembali ketenangan hidupnya.

Tren ini bukan sekadar gaya hidup baru, tapi bentuk perlawanan sunyi terhadap tekanan dunia maya yang semakin padat dan melelahkan.

Fenomena Global Terjadi di Berbagai Negara

Di Inggris dan Amerika Serikat, istilah “digital detox retreat” kini kian populer.

Banyak perusahaan perjalanan menawarkan liburan tanpa sinyal internet di pedesaan atau pegunungan.

Sementara di Jepang, muncul gerakan sosial bernama “No-SNS Day” — hari tanpa media sosial yang dirayakan setiap bulan oleh komunitas muda urban.

Sebuah laporan dari Global Web Index (2025) bahkan menyebut, lebih dari 64 persen pengguna internet di dunia pernah melakukan digital detox minimal satu kali dalam setahun.

Alasannya? Rata-rata merasa stres, cemas, dan sulit fokus akibat terlalu sering online.

Mengapa Orang Memilih Lepas dari Media Sosial ?

Para psikolog menjelaskan, dunia digital yang serba cepat menciptakan tekanan mental tak terlihat.

Notifikasi, perbandingan sosial, dan aliran informasi tanpa henti membuat otak terus bekerja tanpa jeda.

Digital detox membantu otak beristirahat dan mengembalikan kemampuan fokus alami,” kata Dr. Susan Miller, pakar psikologi perilaku dari Harvard University, dikutip dari Psychology Today.

Bahkan di kalangan profesional muda, keputusan untuk “unplug” alias melepaskan diri sejenak dari dunia digital mulai dianggap sebagai bentuk perawatan diri (self-care) yang penting, layaknya olahraga atau meditasi.

Bagaimana Digital Detox Dilakukan ?

Bentuknya bisa beragam, tergantung kebutuhan dan kebiasaan masing-masing orang.

Sebagian memilih cuti total dari media sosial selama akhir pekan, ada juga yang menerapkan aturan “no phone after 9 PM” di rumah.

Beberapa kantor startup di Eropa bahkan mulai menerapkan “digital break” — jam istirahat khusus dimana karyawan dilarang membuka gawai.

Kegiatan ini terbukti meningkatkan produktivitas hingga 18 persen, menurut riset dari University of Oxford.

Tren yang Mulai Masuk ke Indonesia

Fenomena ini mulai terasa juga di Indonesia. Banyak influencer dan pekerja kreatif yang kini mulai mengumumkan “digital break” di akun mereka, memberi contoh bahwa produktivitas tidak selalu berarti online 24 jam.

Beberapa kafe dan co-working space di Bali, Bandung, dan Yogyakarta bahkan mengusung konsep “no Wi-Fi zone” agar pengunjung bisa berinteraksi langsung tanpa distraksi layar.

Mengembalikan Kendali atas Waktu dan Pikiran

Digital detox bukan tentang membenci teknologi, tapi tentang mengembalikan kendali atas waktu dan perhatian.

Di tengah dunia yang makin terhubung, mungkin justru momen terbaik adalah saat kita melepaskan koneksi sejenak — agar bisa benar-benar terhubung dengan diri sendiri dan dunia nyata di sekitar kita. (*)

Editor : RF1

Bagikan