Ketika bodoh menjadi profesi dan dungu membuahkan pundi-pundi

Ilustrasi.

Opini, Reportase Faktual || Selamat datang di era di mana kebodohan bukan lagi masalah, Melainkan sebuah cuan dan kebanggaan, Kebodohan bahkan telah menjadi model karier baru digital.

Kita hidup di zaman di mana kata “influencer” lebih penting dari kata “benar”, kedunguan lebih menghasilkan dari keilmuan dan “followers” lebih berguna daripada “pemahaman”.

Lihatlah, saksikanlah dan simaklah… orang-orang kini naik panggung digital bukan karena tahu, tapi karena tampil menarik, mengesankan saat tidak tahu apa-apa. Otak kosong lebih menyenangkan dan mendapat tepuk tangan…

Ia bicara soal sejarah dengan membaca dari Wikipedia versi salah. Ia bicara tentang agama dengan kutipan TikTok 15 detik…

Ia bicara tentang filsafat seakan ia sedang ngelucu di warung kopi…

Tapi yang menyedihkan, orang percaya.

Karena di layar kecil itu, kebenaran tak lagi penting, ilmu tak lagi dihargai Yang penting “percaya diri.”

Mereka adalah manusia species langka baru (kita sebut saja jenis “Homo Sapiens Ignorantia”).

Manusia yang banyak bicara tapi gagal paham. Bicaranya cepat, referensinya kabur, logikanya bolong-bolong, analisanya tak digunakan tapi tampilnya meyakinkan unt membuat tawa dan kekonyolan.

Namun ironisnya, semakin kosong isi kepalanya, semakin lantang suaranya, semakin berhenti logikanya semakin keras gelak tawanya.

Mereka membuat opini tentang segala hal, mulai dari politik, agama budaya, filsafat, ekonomi, hingga tata surya. Padahal, membaca satu buku pun tak tuntas.

Tak perlu baca buku, tak guna sumber ilmu, cukup baca kolom komentar….keluarkan senjata menghujat Tak usah study, tak penting analisa, tak guna pembandin

Tak perlu kuliah, cukup ikut tren…

Tapi siapa peduli? Kamera menyala, algoritma bekerja, narasi bersuara dan endorsement datang.

Dulu, kebodohan adalah aib. Kini, ia bisa jadi pundi pundi dan brand pribadi. Cukup modal kamera, suara percaya diri, dan sedikit bumbu sok tahu, jadilah profesi baru, “influencer ngawur”.

Kebodohan kini tak disembunyikan, justru dipamerkan dengan bangga. Dikasih efek transisi, dijual dalam bentuk konten. Dibayar pula oleh sponsor dan brand terkenal.

Yang penting viral. Soal isi? Tidak penting.

Yang penting ramai. Soal benar? Belakangan. Yang penting followers soal akal ? Kesampingkan.

Jadi, lain kali Anda membuka Instagram, YouTube, tiktok, dan melihat seseorang berbicara dengan nada meyakinkan tentang hal yang tak dia pahami.

Berilah dia tepuk tangan, tawa yg kencang… bukan karena dia benar, tapi karena ia telah berhasil menjadikan kebodohan sebagai tontonan yang layak disimak, subscribe, dan disponsori.

Oleh :

H Maidarov

Pemerhati Sosial

Bagikan