Racun di Hulu Sungai, Dugaan Permainan Kepala Desa di Balik Tambang Emas Ilegal Muara Tiku

Ilustrasi.

Sumatera Selatan, Reportase Faktual — Di balik gemerlap emas yang ditambang secara sembunyi-sembunyi, warga Desa Tiku, Kecamatan Karang Jaya, Kabupaten Musi Rawas Utara (Mura Tara), Sumatera Selatan harus menanggung derita.

Air sungai yang dulu jernih dan menjadi tumpuan hidup, kini berubah menjadi ancaman yang perlahan merenggut kesehatan mereka.

Semua bermula dari aktivitas tambang emas yang diduga ilegal dan tak tersentuh hukum.

Dalam investigasi yang dilakukan pada 5 Juli 2025, terungkap keresahan warga yang kian memuncak.

Mereka mengaku sudah sejak lama mencium adanya praktik tambang emas tanpa izin yang dilakukan sejumlah pihak.

Namun, yang lebih mengundang amarah adalah dugaan keterlibatan Kepala Desa Muara Tiku, Bahalisa, yang disebut-sebut menerima “jatah setoran” dari para penambang liar.

“Kami sudah berkali-kali mengadu, tapi tidak pernah digubris. Air sungai kami sekarang sudah keruh dan beracun. Banyak yang mulai sakit: tangan dan kaki bengkak, kulit gatal-gatal, bahkan ada anak-anak yang mulai menunjukkan gejala aneh,” ujar salah satu warga yang enggan disebutkan namanya.

Ia juga menyebut bahwa keberadaan limbah merkuri dari proses pengolahan emas telah mencemari sumber air utama desa.

Parahnya, tidak ada upaya dari pemerintah desa untuk menertibkan kegiatan tersebut, meski dampaknya sudah sangat nyata.

Masyarakat pun mengancam akan membawa persoalan ini ke meja Gubernur Sumatera Selatan dan Dinas Pertambangan bila dalam waktu dekat tidak ada penindakan.

Lebih lanjut, saat tim media ini mencoba menghubungi Kades Muara Tiku Bahalisa melalui nomor pribadinya 0813-7307-32xx pada Minggu, 6 Juli 2025 pukul 09.34 WIB, pesan hanya dibaca tanpa respons.

Tidak ada bantahan, klarifikasi, atau sekadar penjelasan atas tuduhan yang dialamatkan kepadanya.

Sikap diam ini kian memperkuat dugaan bahwa sang kepala desa punya kepentingan tertentu dalam bisnis tambang emas ilegal tersebut.

Seorang narasumber lain yang merupakan mantan pekerja tambang mengaku, praktik setoran kepada pihak desa sudah menjadi rahasia umum.

“Bos-bos tambang itu setiap bulan setor supaya tidak diganggu. Mereka bahkan dapat informasi duluan kalau ada razia,” ungkapnya.

Hingga kini, tidak satu pun aparat penegak hukum atau lembaga pengawas lingkungan turun ke lokasi.

Warga merasa dikhianati oleh sistem yang seharusnya melindungi mereka. Mereka kini hidup dalam bayang-bayang penyakit dan kehancuran lingkungan akibat kerakusan para penambang dan pembiaran oknum pemerintah desa. (*)

Editor : RF1

Bagikan